Sumbarkita.com - 11 Desember menjadi tanggal peringatan Hari Gunung Sedunia atau Hari Gunung Internasional (International Mountain Day).
Tanggal peringatan itu ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 20 Desember 2002 dan pertama kali diperingati pada 11 Desember 2003.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran tentang relevansi ekosistem pegunungan.
Tepat pada bulan yang sama, Gunung Marapi, salah satu gunung api teraktif di Indonesia yang berada di Sumatera Barat meletus dan memakan banyak korban jiwa.
Letusan mendadak terjadi tanpa tanda-tanda pada Minggu (3/12/2023) pukul 14.54 WIB yang diiringi beberapa letusan kecil.
Pos Pengamatan Gunungapi (PGA) Marapi pun mencatat saat erupsi terjadi kolom abu yang disemburkan mencapai 3.000 meter di atas puncak.
Sontak saja kejadian itu membuat panik masyarakat yang bermukim di sekitar kaki gunung, tak terkecuali 75 pendaki yang tangah beraktifitas di atas gunung.
Pasca-erupsi, petugas gabungan mencatat 23 orang pendaki ditemukan meninggal dunia selama operasi pencarian dan penyelamatan.
Sementara, 52 pendaki lainnya ditemukan selamat dalam operasi yang berlangsung empat hari itu. Sebagian ada yang evakuasi mandiri dan ada pula yang ditandu dari puncak.
Letusan yang memakan banyak korban jiwa ini ternyata bukan pertama kali terjadi di perbatasan Agam dan Tanah Datar itu.
Jauh sebelumnya, gunung ketinggian 2.891 mdpl ini sudah sering meletus dan juga pernah memakan korban jiwa.
Abel Tasman merupakan salah satu korban erupsi Gunung Marapi yang menjadi kenangan kelam banyak pencinta alam.
Ia adalah pendaki yang ditemukan meninggal dunia saat erupsi terjadi pada 5 Juli, pagi.
Tugu Abel yang dibangun persis di gerbang masuk puncak Gunung Marapi menjadi tanda peringatan peristiwa 1992 itu.
Sementara, erupsi pertama Gunung Marapi yang tercatat, terjadi pada 8 September 1830 dengan ketinggian kolom abu mencapai 1.500 meter.
BACA JUGA: Seorang Perempuan Tersambar Petir di Tanah Datar, Biaya Berobat Ditanggung Pemerintah
Setelahnya, erupsi dikabarkan terjadi pada lagi pada 1979. Menurut arsip digital wayback machine, sebanyak 60 orang meninggal dunia.
Insidennya dikabarkan terjadi di pagi hari 30 April. Letusan ini berdampak terhadap lima desa yang berada di kaki Gunung Marapi.
Selain puluhan orang meninggal dunia, sebanyak 19 orang yang tergabung dalam tim penyelamat juga diberitakan terjebak tanah longsor.
Meski begitu, laporan itu dibantah dan disebutkan bahwa mereka adalah korban longsor (banjir) lahar yang terjadi hujan lebat.
Masih menurut arsip wayback machine, lahar tua dan material vulkanik lainnya di sisi utara dan timur Marapi ketika itu longsor (banjir).
Longsor terjadi dari ketinggian 2.400 mdpl menerjang hingga 20 kilometer ke bawah dengan ketinggian sekitar 70 meter.
Korban yang meninggal dunia dilaporkan bukan 60 orang, melainkan 80 orang. Kerugian lainnya, rumah-rumah warga dan beberapa hektar lahan pertanian rusak.
Adapun erupsi Gunung Marapi lainnya tercatat terjadi pada 1980, 1982, 1984, 1987, 1988, 1994, 1999, 2000, 2002, 2005, 2011, 2014, dan 2023.
Pada 2023, sebelum erupsi besar yang menelan puluhan korban, erupsi terakhir terjadi pada Januari-Februari, dan hingga kini sejak 2011 berstatus waspada atau level 2.
Selain erupsi, peristiwa yang tak kalah menyita perhatian adalah peristiwa tersesatnya 12 pendaki dari Mapala Getrakoda SMAN 1 Batusangkar.
Mereka ketika itu naik Gunung Marapi lewat jalur selatan, atau pintu Simabua. Sebanyak empat orang dilaporkan gugur.
Peristiwa ini dikenang dengan dibangunnya sebuah tugu kecil persisi di pintu masuk puncak dari jalur selatan yang kemudian diberi nama Tugu Gentrakotda.
Satu lagi peristiwa yang menjadi kenangan para pendaki adalah kisah Pak Guru. Ia bernama Mulzafri, seorang guru les bahasa Inggris di Bukik Apik, Bukittinggi.
Dia meninggal diduga karena serangan jantung ketika memandu dua turis asal Rusia ke Gunung Marapi via jalur Koto Baru.
Para kelompok pencinta alam membangun tugu memorial untuk Mulzafri persis di sebelah Tugu Abel yang kebumidan diberi nama tugu Pak Guru.
Dilain sisi, Gunung Marapi menjadi legenda daerah asal orang Minang Kabau. Mereka meyakini bahwa nenek monyangnya turun dari Gunung ini.
Sejumlah kota yang berada di bawah kaki gunung ini adalah Kota Bukittinggi dan Kota Padang Panjang.