Padang, Sumbarkita.com - Kisah tentang silsilah raja-raja Minangkabau selama ini masih menyimpan banyak misteri. Berbagai penelitian yang telah dilakukan baru mampu mengungkap beberapa tokoh raja seperti Adityawarman yang hidup pada abad ke-14 Masehi, serta Sultan Ahmadsyah dan Sultan Gagar Alam yang berkuasa pada abad ke-17 hingga 18 Masehi. Namun sebuah temuan naskah kuno berjudul Kitab Salasilah Rajo-Rajo di Minangkabau (KSRRM) memberikan gambaran lebih lengkap tentang rangkaian silsilah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Pagaruyung.
Naskah KSRRM pertama kali ditemukan oleh Emral Djamal dan A. Chaniago HR pada tahun 1989 di wilayah Guguak, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Naskah ini tersimpan dalam sebuah peti besi milik seorang pemangku adat bernama Daniar yang bergelar Datuak Ampang Limo Sutan. Naskah tersebut dibungkus dengan tiga lapis kain - kain cindai, kain putih, dan kain hitam - menunjukkan betapa berharganya dokumen ini.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh tim peneliti yang dipimpin Sultan Kurnia dari Hiroshima University, KSRRM memberikan informasi penting tentang 25 orang raja yang memerintah Kerajaan Pagaruyung sejak abad ke-14 hingga awal abad ke-19 Masehi. Naskah setebal 249 halaman ini ditulis dalam aksara Jawi (Arab-Melayu) menggunakan bahasa Minangkabau.
"Temuan naskah KSRRM ini sangat penting karena memberikan gambaran lengkap tentang silsilah raja-raja Minangkabau yang selama ini masih samar-samar," jelas Sultan Kurnia lewat tulisan Genealogy of the Raja Alam Pagaruyung Dynasty in Kitab Salasilah Rajo-Rajo di Minangkabau (1336-1825) dalam jurnal yang dipublikasikan Journal of Philology and Historical Review edisi Januari 2024.
Asal-Usul Dinasti Raja Alam
Berdasarkan KSRRM, Dinasti Raja Alam Pagaruyung terbentuk dari perkawinan tiga dinasti raja besar yang berkuasa sebelumnya - Dinasti Raja-Raja di Gunung Merapi, Dinasti Raja-Raja Sumpur Sireno Puro, dan Dinasti Raja-Raja di Ranah Tiga Laras (Dharmasraya). Dari perkawinan ini lahirlah beberapa tokoh penting, termasuk Dewang Palakama Raja Indra Dewawana yang kemudian diidentifikasi sebagai Adityawarman.
Adityawarman sendiri memiliki peran krusial dalam sejarah Minangkabau. Ia memindahkan pusat kerajaan dari wilayah Dharmasraya ke Tanah Datar. Awalnya ia berkedudukan di Sungai Ameh (Saruaso) sebelum akhirnya membangun istana di Ulak Tanjung Bungo, Pagaruyung.
"Dalam KSRRM disebutkan bahwa Adityawarman menjabat sebagai Raja Undang selama 40 tahun, dari tahun 1336 hingga 1376," tutur Sultan Kurnia.
Gelar Raja Undang ini kemudian berubah menjadi Raja Alam pada masa cucunya, Dewang Pandan Putowano yang memerintah pada periode 1420-1457.
Sistem Pemerintahan Tigo Selo
Salah satu warisan terpenting Adityawarman adalah pembentukan sistem Rajo Tigo Selo (Tiga Raja). Dalam sistem ini, kekuasaan dibagi antara Raja Undang (kemudian menjadi Raja Alam), Raja Adat, dan Raja Ibadat. Raja Alam menduduki posisi tertinggi dengan gelar lengkap "Raja Alam Minangkabau Daulat Yang Dipertuan di Pulau Ameh."
Menurut catatan KSRRM, Adityawarman menobatkan Raja di Bukit Patah sebagai Raja Pusaka (kemudian menjadi Raja Adat) dan Raja di Sumpur Sireno Puro sebagai Raja Agama (kemudian menjadi Raja Ibadat). Sistem ini bertahan hingga masa-masa terakhir Kerajaan Pagaruyung di awal abad ke-19.
Perpindahan Pusat Kekuasaan
Dalam perjalanan sejarahnya, pusat kekuasaan Kerajaan Pagaruyung mengalami beberapa kali perpindahan. Berdasarkan KSRRM, dua belas Raja Alam pertama bersinggasana di Balai Gudam. Namun pada masa pemerintahan Yamtuan Bakilap Alam yang bergelar Sultan Alif I Johan Berdaulat Fil Alam (1543-1573), pusat kerajaan dipindahkan ke Balai Janggo.
Perpindahan ini menandai perubahan penting dalam sejarah Kerajaan Pagaruyung. Para raja yang memerintah di Balai Gudam menggunakan nama depan "Dewang", mencerminkan masih kuatnya pengaruh Hindu-Buddha.
Sementara raja-raja di Balai Janggo menggunakan nama depan "Yamtuan" dengan gelar-gelar yang bernafaskan Islam seperti sultan, ahmadsyah, alif, arifin, dan khalifatullah.
Masa-Masa Genting
Salah satu periode kritis dalam sejarah Kerajaan Pagaruyung terjadi pada awal abad ke-16. KSRRM mencatat bahwa Raja Dewang Sari Dewana yang memerintah pada 1502-1508 dikudeta oleh Dewang Palakama Pamowana dari Ulu Tebo.
Menariknya, kudeta ini melibatkan kerja sama dengan "orang Rupik Sipatokah" - sebutan masyarakat Minangkabau untuk bangsa Portugis yang saat itu telah menguasai Malaka.
"Tipak dek Rajo Pamowano, jan urang Rupik basabuik saudaro Rupik Sipatokah di Tanah Alang Buano Ameh babungka dijua rajo," demikian kutipan KSRRM yang menyebutkan bahwa Dewang Pamowana menjual emas kepada Portugis di Malaka.
Periode genting lainnya terjadi pada awal abad ke-19 ketika terjadi konflik antara kaum adat dan kaum Padri. Puncaknya adalah peristiwa berdarah di Balai Rapat Koto Tangah yang menewaskan Yamtuan Rajo Naro dan beberapa pembesar kerajaan lainnya. Setelah peristiwa ini, kepemimpinan kerajaan dipegang oleh Tuan Gadis Saruaso.
Peninggalan Sejarah yang Terhubung
Para peneliti menemukan keterkaitan yang menarik antara informasi dalam KSRRM dengan berbagai peninggalan sejarah lainnya. Misalnya, catatan tentang Adityawarman dalam naskah ini selaras dengan informasi yang tertera dalam Prasasti Amoghapasa, Prasasti Padang Roco, dan Prasasti Pagaruyung IV.
"Bukti arkeologis mendukung keterangan KSRRM bahwa Adityawarman memindahkan pusat kerajaan ke Tanah Datar. Beberapa prasastinya ditemukan di Saruaso dan Bukit Gombak yang letaknya dekat dengan Sungai Ameh," jelas Sultan Kurnia.
Daftar Lengkap Raja-Raja Pagaruyung (1336-1809)
Berdasarkan Kitab Salasilah Rajo-Rajo di Minangkabau (KSRRM) inilah daftar 25 orang raja yang memerintah Kerajaan Pagaruyung sejak abad ke-14 hingga awal abad ke-19 Masehi.
Era Raja Undang (1336-1420)
- Dewang Palakama Raja Indra Dewawana (Adityawarman) - 1336-1376
- Dewang Baramah Sanggowano - 1376-1409
- Dewang Duato Dewano - 1409-1420
Era Raja Alam di Balai Gudam (1420-1539)
- Dewang Pandan Putowano - 1420-1457
- Puti Bungsu Puti Reno Silinduang Bulan - 1457-1460
- Puti Panjang Rambut - 1460-1480
- Dewang Pandan Salasiah Banang Raiwano - 1480-1481
- Dewang Cando Ramowano - 1481-1502
- Dewang Sari Dewana - 1502-1508
- Dewang Palakama Pamowana (masa kudeta) - 1508-1518
- Dewang Sari Dewana (kembali berkuasa) - 1518-1530
- Dewang Sari Alam Megowano - 1530-1531
- Dewang Pandan Banang Sutowano - 1531-1539
Era Raja Alam di Balai Janggo (1543-1809)
- Yamtuan Bakilap Alam - 1543-1573
- Yamtuan Parsambahan - 1573-1593
- Yamtuan Rajo Mangun - 1593-1643
- Yamtuan Barandangan (Sultan Ahmadsyah) - 1643-1673
- Yamtuan Khalif - 1673-1683
- Yamtuan Jombang - 1683-1713
- Yamtuan Gagar Alam - 1713-1753
- Yamtuan Rajo Masa Bumi - 1753-1773
- Yamtuan Bawang - 1773-1793
- Yamtuan Patah - 1793-1807
- Yamtuan Basusu Ampek - 1807-1822
- Yamtuan Rajo Naro - 1807-1809
Warisan untuk Nusantara
KSRRM juga mengungkap hubungan Kerajaan Pagaruyung dengan berbagai wilayah di Nusantara. Salah satu contohnya adalah keberadaan Yamtuan Rajo Masa Bumi yang memerintah pada 1753-1773. Ia adalah ayah dari Raja Malewar, Yang Dipertuan Besar pertama Negeri Sembilan, Malaysia.
Selain itu, naskah ini juga menyebutkan bahwa Puti Salareh Pinang Masak, putri Raja Dewang Baramah, menjadi cikal bakal Dinasti Raja-Raja Jambi. Hal ini menunjukkan luasnya pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung melalui hubungan kekerabatan.
Merajut Sejarah yang Terputus
Para sejarawan menilai temuan KSRRM membantu mengisi kekosongan dalam historiografi Minangkabau. "Sebelumnya, kita mengalami kesulitan menjelaskan rangkaian raja-raja antara masa Adityawarman di abad ke-14 dan Sultan Ahmadsyah di abad ke-17. KSRRM memberikan gambaran yang lebih utuh," ungkap Sultan Kurnia.
Meski demikian, peneliti tetap perlu berhati-hati dalam menggunakan naskah ini sebagai sumber sejarah. KSRRM perlu diverifikasi dengan sumber-sumber lain seperti prasasti, arsip kolonial, dan tradisi lisan yang masih hidup di masyarakat.
Kitab Salasilah Rajo-Rajo di Minangkabau memberikan sumbangan berharga bagi pemahaman kita tentang sejarah Minangkabau. Naskah ini tidak hanya mengungkap silsilah raja-raja, tetapi juga mencerminkan dinamika politik, sosial, dan budaya yang terjadi selama lima abad sejarah Kerajaan Pagaruyung. Warisan sejarah ini menjadi pengingat akan kejayaan masa lalu sekaligus pembelajaran berharga bagi generasi mendatang.