Akulturasi Budaya Sunda di Kota Padang: Kisah Harmoni Dua Budaya yang Mengakar Sejak 1959

Akulturasi Budaya Sunda di Kota Padang: Kisah Harmoni Dua Budaya yang Mengakar Sejak 1959

Ilustrasi. [Foto: Kolase/Canva]

Sumbarkita.com - Dalam mozaik keberagaman Indonesia, akulturasi budaya Sunda di Padang menjadi kisah menarik tentang perpaduan dua identitas kuat yang saling menghormati. Perjalanan sejarah mempertemukan dua etnis besar ini - Sunda dan Minangkabau - dalam satu ruang urban yang kemudian melahirkan harmoni budaya yang unik dan berkelanjutan.

Tahun 1959 menjadi penanda awal kedatangan etnis Sunda ke Kota Padang. Saat itu, situasi politik nasional tengah bergejolak dengan munculnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Menghadapi kondisi ini, Presiden Soekarno mengirim pasukan Divisi Siliwangi untuk mengendalikan keadaan. Kehadiran para prajurit Siliwangi yang mayoritas berasal dari Tanah Pasundan ini tanpa disengaja menjadi cikal bakal tumbuhnya komunitas Sunda di Ranah Minang.

Teluk Bayur, pelabuhan utama Padang, menjadi saksi bisu kedatangan gelombang pertama etnis Sunda ini. Para prajurit Siliwangi yang ditugaskan dalam berbagai operasi militer - mulai dari Operasi Tegas, Operasi Sapta Marga, Operasi Sadar, hingga Operasi 17 Agustus - harus menghadapi tantangan berat. PRRI yang didukung pihak asing memiliki persenjataan lengkap dan canggih, terutama yang didistribusikan melalui jalur laut dari Samudera Hindia ke Teluk Bayur.

Peneliti Sejarah Universitas Andalas, Yetri Ermi Yenti, dkk., dalam penelitian berjudul Acculturation of Sundanese Culture in Padang City in 1969-2020 yang dimuat Jurnal Historia (2024), mengungkap bahwa tidak semua anggota Divisi Siliwangi memilih untuk kembali ke Jawa Barat setelah situasi mereda. Sebagian dari mereka justru menemukan "rumah baru" di Kota Padang. Keramahan masyarakat lokal, terutama keterbukaan mereka dalam menerima pendatang, menjadi faktor penting yang membuat para prajurit ini memutuskan untuk menetap. Banyak di antara mereka kemudian menikah dengan perempuan Minang dan membangun kehidupan baru di sini.

Gadut, sebuah kawasan di Padang, menjadi area pemukim pertama komunitas Sunda ini. Daerah yang awalnya dikenal sebagai permukiman Jawa ini perlahan berkembang menjadi kantong budaya yang unik, di mana nilai-nilai Sunda mulai beradaptasi dengan adat Minangkabau. Para veteran Siliwangi yang memilih menghabiskan masa pensiun mereka di sini menjadi pionir dalam membangun jembatan budaya antara dua etnis.

Fase awal kedatangan etnis Sunda ini menandai dimulainya sebuah proses akulturasi yang alamiah. Tidak ada gesekan berarti yang muncul, justru yang terjadi adalah penerimaan mutual yang mencerminkan kearifan kedua budaya. Masyarakat Minangkabau yang terkenal dengan filosofi "dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" memberikan ruang bagi etnis Sunda untuk tetap mempertahankan identitas kulturalnya sambil beradaptasi dengan adat setempat.

Hubungan harmonis yang terjalin sejak awal ini menciptakan fondasi kokoh bagi perkembangan komunitas Sunda di tahun-tahun berikutnya. Keberhasilan gelombang pertama ini dalam beradaptasi dan diterima oleh masyarakat lokal membuka jalan bagi kedatangan gelombang-gelombang berikutnya, yang nantinya akan semakin memperkaya mozaik budaya Kota Padang.

Pasca Erupsi Galunggung dan Program Transmigrasi (1982-1983)

Dua dekade setelah kedatangan pertama, akulturasi budaya Sunda di Padang mendapat momentum baru melalui peristiwa alam yang tak terduga. Erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982-1983 menjadi titik balik yang mendorong gelombang migrasi kedua masyarakat Sunda ke ranah Minang, kali ini dalam skala yang jauh lebih besar.

Bencana Galunggung meninggalkan dampak mendalam bagi kehidupan masyarakat Jawa Barat. Wilayah-wilayah seperti Bale Endah, Ciparay, Majalaya, dan Kabupaten Bandung mengalami kerusakan parah. Ribuan hektar lahan pertanian di Ciparay dan Majalaya mengalami kekeringan akibat debu vulkanik yang sangat tebal. Di kawasan Wanaraja, Garut, saluran irigasi mengering, sementara lebih dari 350 hektar perkebunan teh di Pangalengan dan Garut mengalami kerusakan total.

Menghadapi situasi krisis ini, pemerintah Orde Baru menggagas program transmigrasi sebagai solusi. Tawaran untuk memulai kehidupan baru di luar Pulau Jawa mendapat sambutan antusias dari masyarakat Sunda yang tengah kesulitan secara ekonomi. Sumatera Barat, khususnya Kabupaten Sijunjung dan Pasaman Barat, menjadi tujuan utama program ini.

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) membiayai sepenuhnya program perpindahan penduduk ini. Di Kabupaten Sijunjung saja, sepanjang periode 1982-1995, tercatat 2.568 kepala keluarga transmigran berhasil dipindahkan ke kawasan Timpeh. Mereka tidak hanya membawa harapan akan kehidupan yang lebih baik, tetapi juga membawa serta kekayaan budaya Sunda ke tanah Minang.

Kawasan Timpeh, yang sebelumnya merupakan wilderness dengan populasi penduduk relatif kecil, perlahan berubah wajah dengan kedatangan para transmigran Sunda. Meski menghadapi tantangan infrastruktur dan pendidikan - dimana anak-anak harus menumpang di kawasan Sitiung untuk bersekolah - semangat para transmigran tidak pernah surut.

Dorongan untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak kemudian menjadi faktor penting yang mendorong sebagian transmigran untuk bermigrasi ke Kota Padang. Minimnya fasilitas pendidikan di kawasan transmigrasi membuat banyak keluarga Sunda memilih pindah ke ibukota provinsi ini, terutama setelah mereka berhasil membangun basis ekonomi yang cukup.

Periode 1982 hingga 2000 menjadi masa transisi penting bagi komunitas Sunda di Sumatera Barat. Meski kawasan seperti Timpeh belum berkembang optimal dalam hal pendidikan, tekad para orangtua transmigran untuk memberikan masa depan lebih baik bagi anak-anak mereka tidak pernah goyah. Baru memasuki tahun 2010, kawasan ini mulai menunjukkan perkembangan signifikan dengan dibangunnya delapan unit PAUD, delapan TK, sebelas SD, empat SMP, dan satu SMA.

Gelombang kedua ini membawa dimensi baru dalam proses akulturasi budaya Sunda di Padang. Jika gelombang pertama didominasi para prajurit yang kemudian menetap, gelombang kedua ini membawa keluarga-keluarga utuh dengan berbagai latar belakang - petani, pedagang, hingga para profesional. Keragaman ini memperkaya proses pertukaran budaya yang terjadi, menciptakan mozaik sosial yang semakin kompleks dan menarik.

Migrasi Mandiri dan Perkembangan Komunitas Sunda di Padang (1983-2020)

Memasuki dekade 1990-an, akulturasi budaya Sunda di Padang memasuki fase baru melalui gelombang migrasi mandiri. Catatan Badan Pusat Statistik mencatat fenomena menarik: dari total 68.000 warga Sunda yang merantau ke ranah Minang, sebagian besar memilih Kota Padang sebagai tujuan. Mereka datang bukan lagi karena program pemerintah atau bencana alam, melainkan atas pilihan pribadi untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Data statistik tahun 2000 menggambarkan persebaran etnis Sunda yang menarik di berbagai kecamatan Kota Padang. Padang Timur mencatat jumlah tertinggi dengan 554 warga Sunda, diikuti Koto Tangah dengan 365 orang, dan Padang Barat dengan 306 orang. Sementara itu, kawasan seperti Padang Utara, Nanggalo, dan Kuranji masing-masing menampung sekitar 200 hingga 230 warga Sunda. Angka-angka ini menunjukkan pola pemukiman yang lebih tersebar dibanding periode sebelumnya.

Faktor ekonomi menjadi pendorong utama migrasi mandiri ini. Kesenjangan ekonomi antar daerah dan terbatasnya lapangan kerja di tanah kelahiran mendorong banyak warga Sunda untuk merantau. Padang, dengan pertumbuhan ekonominya yang stabil dan keterbukaan masyarakatnya terhadap pendatang, menjadi magnet yang menarik. Para perantau ini tidak hanya mencari penghasilan yang lebih baik, tetapi juga peluang untuk mengembangkan usaha.

Adaptasi warga Sunda terhadap kehidupan di Padang menunjukkan keberhasilan yang mengesankan. Lebih dari 90% perantau Sunda mampu berkomunikasi dalam bahasa Minang, sebuah pencapaian yang memudahkan mereka dalam berinteraksi dan berbisnis. Mereka bahkan mengembangkan pola kerjasama ekonomi yang unik dengan warga setempat, seperti dalam industri tahu tempe, di mana etnis Sunda bertindak sebagai produsen sementara modal usaha sering kali berasal dari mitra Minang mereka.

Kehadiran Paguyuban Warga Sunda (PWS) menjadi katalis penting dalam fase ini. Organisasi yang awalnya bernama IKDB (Ikatan Keluarga Daerah Bogor) pada 1969, kemudian berubah menjadi IKJB (Ikatan Keluarga Jawa Barat) pada 1972, dan akhirnya menjadi PWS, berperan besar dalam menjembatani kepentingan warga Sunda dengan masyarakat setempat. PWS tidak hanya menjadi wadah pelestarian budaya, tetapi juga agen aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.

Bukti nyata peran PWS terlihat dari berbagai kegiatan sosial yang mereka lakukan. Pada tahun 2008, misalnya, PWS menyelenggarakan aksi donor darah dan khitanan massal yang terbuka untuk seluruh warga Padang. Kegiatan semacam ini memperkuat posisi komunitas Sunda sebagai bagian integral dari masyarakat Kota Padang.

Perkembangan komunitas Sunda di Padang juga ditandai dengan munculnya berbagai usaha kuliner khas Sunda. Warung-warung yang menyajikan masakan Sunda mulai bermunculan, memberikan warna baru dalam lanskap kuliner kota. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan keberhasilan ekonomi, tetapi juga penerimaan budaya Sunda oleh masyarakat Padang.

Hingga tahun 2020, komunitas Sunda telah menjadi bagian tak terpisahkan dari mozaik budaya Kota Padang. Mereka tidak lagi sekadar pendatang, melainkan telah menjadi bagian dari identitas kota ini. Keberhasilan mereka beradaptasi sambil tetap mempertahankan identitas budaya menjadi model keberhasilan akulturasi yang patut diteladani.

Bentuk-bentuk Akulturasi Budaya Sunda-Minang di Padang

Pernikahan antar etnis menjadi salah satu wujud paling nyata dari akulturasi budaya Sunda-Minang di Padang. Menariknya, pernikahan ini jarang menimbulkan konflik meski melibatkan percampuran dua budaya yang berbeda. Salah satu contoh yang menggambarkan harmoni ini adalah pernikahan Tania Putri, putri sulung Meti Sumiati dari Bogor, dengan Alpan yang berasal dari Padang.

Dalam prosesi pernikahan Tania dan Alpan, kedua keluarga sepakat untuk memadukan unsur adat Sunda dan Minangkabau. Pada acara akad nikah, mereka menggunakan busana pengantin Sunda - kebaya brokad putih untuk pengantin wanita dan jas buka Prangwedana untuk pengantin pria. Siger, mahkota pengantin Sunda yang melambangkan kehormatan dan kebijaksanaan, tetap dikenakan sebagai penanda identitas budaya asal.

Sementara pada resepsi pernikahan, kedua mempelai mengenakan busana adat Minangkabau. Pengantin wanita mengenakan songket tenun sirangkak, sementara pengantin pria mengenakan pakaian model Roki yang menyerupai busana Matador dengan kemeja putih, rompi, dan celana berwarna senada. Suntiang menghiasi kepala pengantin wanita, sedangkan saluak dikenakan oleh pengantin pria.

Dalam aspek bahasa, akulturasi terlihat dari penggunaan bahasa campuran Sunda-Minang dalam percakapan sehari-hari. Para perantau Sunda yang telah lama menetap di Padang umumnya fasih berbahasa Minang, sementara banyak warga Minang juga mulai familiar dengan istilah-istilah Sunda seperti "teteh", "akang", "punten", dan "hatur nuhun". Fenomena ini menciptakan variasi bahasa unik yang memperkaya khazanah budaya kedua etnis.

Sistem kekerabatan juga mengalami penyesuaian menarik. Meski Sunda menganut sistem bilateral dan Minangkabau menganut sistem matrilineal, kedua sistem ini mampu hidup berdampingan. Dalam pernikahan antara pria Sunda dengan wanita Minang, anak-anak yang lahir tetap mengikuti garis keturunan ibu sesuai adat Minangkabau. Sementara itu, dalam pernikahan wanita Sunda dengan pria Minang, terjadi fleksibilitas di mana anak-anak bisa mengikuti kedua tradisi.

Di bidang kuliner, akulturasi terlihat dari adaptasi selera dan teknik memasak. Masakan Sunda yang identik dengan sayuran segar dan proses memasak sederhana mulai mengadopsi penggunaan bumbu-bumbu Minang, sementara hidangan Minang juga mulai menyesuaikan dengan selera Sunda yang lebih ringan. Warung Sunda Teteh Lia yang berdiri sejak 2013 menjadi contoh bagaimana kuliner Sunda mampu beradaptasi dengan selera lokal tanpa kehilangan karakteristik aslinya.

Dalam bidang kesenian, PWS berperan besar dalam memperkenalkan dan melestarikan seni Sunda di Padang. Mereka rutin menampilkan tarian jaipong, calung, degung, lengger, dan wayang golek dalam berbagai acara kota. Yang menarik, banyak seniman non-Sunda yang mulai mempelajari kesenian ini, menciptakan perpaduan unik antara seni Sunda dan Minang.

Akulturasi juga terlihat dalam perayaan-perayaan adat. Acara seperti tingkeban (tujuh bulanan) dalam tradisi Sunda mulai diadopsi oleh keluarga campuran Sunda-Minang, sementara tradisi Minang seperti batagak gala tetap dipertahankan. Hal ini menciptakan kalender budaya yang kaya dan beragam bagi masyarakat Padang.

Peran Paguyuban dan Pelestarian Budaya Sunda di Ranah Minang

Paguyuban Warga Sunda (PWS) menjadi pilar utama dalam menjaga kelestarian budaya Sunda di Padang. Sejak berdiri pada 1969, organisasi ini telah bertransformasi dari sekadar wadah berkumpul menjadi agen aktif pelestarian budaya yang memainkan peran strategis dalam membangun harmoni antaretnis di Kota Padang.

Studio seni yang didirikan PWS menjadi tempat berlatih berbagai kesenian Sunda, dari tari jaipong hingga degung. Latihan rutin diadakan satu hingga dua kali sebulan, tidak hanya untuk warga Sunda tetapi juga terbuka bagi siapa saja yang berminat mempelajari kesenian ini. Para penari dan pemusik dari studio ini sering tampil dalam berbagai acara kota, dari pernikahan hingga acara-acara resmi pemerintahan.

Tahun 2006 menjadi tonggak penting ketika PWS menginisiasi program "Sunda Gentra Parahyangan". Program ini tidak hanya menampilkan pertunjukan seni, tetapi juga menjadi ajang perkenalan menyeluruh tentang budaya Sunda kepada masyarakat Padang. Keberhasilan program ini menginspirasi lahirnya siaran radio mingguan dengan nama sama di RRI Padang, yang hingga kini masih mengudara setiap Sabtu pukul 17.00 WIB.

Dalam aspek ekonomi, PWS berperan sebagai fasilitator yang mempertemukan pengusaha-pengusaha Sunda dengan mitra lokal. Contoh sukses terlihat pada industri tahu tempe, di mana produsen Sunda berkolaborasi dengan pemodal Minang. Model kerjasama ini tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga memperkuat ikatan sosial antara kedua komunitas.

Di bidang pendidikan, PWS aktif mengadakan kelas-kelas bahasa dan budaya Sunda untuk generasi muda. Program ini terbuka untuk anak-anak dari keluarga campuran Sunda-Minang maupun non-Sunda yang ingin mengenal lebih dalam tentang budaya Pasundan. Upaya ini penting untuk memastikan transmisi nilai-nilai budaya kepada generasi berikutnya.

Peran PWS dalam menjembatani hubungan dengan pemerintah daerah juga patut diapresiasi. Mereka aktif berpartisipasi dalam forum-forum antaretnis dan menjadi penghubung ketika ada kebijakan yang menyangkut kepentingan warga Sunda. Salah satu contoh adalah keterlibatan mereka dalam pengembangan kawasan kuliner khas Sunda di Padang.

Tahun 2008 menjadi bukti nyata kontribusi sosial PWS ketika mereka mengadakan donor darah dan khitanan massal. Kegiatan yang terbuka untuk seluruh warga Padang ini menunjukkan bahwa PWS tidak hanya fokus pada pelestarian budaya, tetapi juga peduli pada kesejahteraan masyarakat secara luas.

Program pelestarian budaya yang dilakukan PWS mendapat dukungan penuh dari pemerintah kota Padang. Hal ini terlihat dari berbagai fasilitas dan kemudahan yang diberikan untuk kegiatan-kegiatan paguyuban, termasuk penggunaan ruang publik untuk pertunjukan seni dan acara budaya.

Keberhasilan PWS dalam melestarikan budaya Sunda sambil membangun harmoni dengan budaya lokal menjadi model yang patut dicontoh. Mereka membuktikan bahwa identitas budaya bisa dipertahankan tanpa harus menimbulkan gesekan dengan budaya setempat. Justru sebaliknya, perbedaan budaya bisa menjadi sumber kekayaan yang memperkaya kehidupan kota.

Hingga tahun 2020, PWS terus berkembang dan beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Mereka mulai memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan budaya Sunda dan menjangkau generasi muda. Upaya ini membuktikan bahwa pelestarian budaya tradisional bisa berjalan seiring dengan kemajuan teknologi.

Baca Juga

Tradisi Maelo Pukek: Warisan Budaya Nelayan Kota Padang yang Masih Bertahan
Tradisi Maelo Pukek: Warisan Budaya Nelayan Kota Padang yang Masih Bertahan
Rumah Gadang Tiang Panjang: Warisan Megah Kerajaan Sungai Dareh di Darmasraya
Rumah Gadang Tiang Panjang: Warisan Megah Kerajaan Sungai Dareh di Darmasraya
Menelusuri Silsilah Raja Minangkabau: Dari Adityawarman Hingga Era Padri
Menelusuri Silsilah Raja Minangkabau: Dari Adityawarman Hingga Era Padri
Sumbarkita.com - Sejarah Kota Padang: Jejak Peradaban di Pemukiman Orang Nias
Sejarah Kota Padang: Jejak Peradaban di Pemukiman Orang Nias
Sumbarkita.com, Padang Pariaman - Istana Seafood Putra Minang menjadi destinasi wisata kuliner baru yang hadir bibir Pantai Tiram, Padang Pariaman.
Istana Seafood Putra Minang Warnai Wisata Kuliner di Bibir Pantai Taram
Sumbarkita.com - 11 Desember menjadi tanggal peringatan Hari Gunung Sedunia atau Hari Gunung Internasional (International Mountain Day).
Hari Gunung Sedunia dan Catatan Kelam Gunung Marapi