Rumah Gadang Tiang Panjang: Warisan Megah Kerajaan Sungai Dareh di Darmasraya

Rumah Gadang Tiang Panjang: Warisan Megah Kerajaan Sungai Dareh di Darmasraya

Rumah Gadang Tiang Panjang di Sungai Dareh, Dharmasraya. [Foto: Istimewa/Sultansinindonesieblog]

Sumbarkita.com - Di tengah hamparan luas Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, berdiri dengan megah sebuah Rumah Gadang Tiang Panjang yang menyimpan kisah panjang Kerajaan Sungai Dareh. Rumah adat berusia lebih dari 300 tahun ini menjadi saksi bisu perjalanan sejarah sistem kepemimpinan unik di Minangkabau, di mana tampuk kekuasaan dipegang oleh para raja perempuan.

Mengutip tulisan, Deslira Wardani, dkk., Rumah Gadang Tiang Panjang Peninggalan Kerajaan Sungai Dareh Kabupaten Dharmasraya, dalam Jurnal Majalah Ilmiah Tabuah, Sejarah Rumah Gadang Tiang Panjang ini bermula pada tahun 1682, saat wilayah Ranah Tibaru yang kini menjadi Nagari Sungai Dareh dan Pulau Punjung berada di bawah kepemimpinan Tuanku Nan Hitam dan Tuanku Nan Putiah. Kedua pemimpin yang dikenal kejam ini membuat rakyat hidup dalam kessengsaraan.

Melihat penderitaan rakyat yang berkepanjangan, empat orang Niniak Mamak yang dikenal sebagai Datuak Nan Barampek berangkat menghadap Raja Pagaruyung, Sultan Abdul Jalil. Keempat tokoh tersebut adalah Datuak Paduko Basa dari Suku Piliang, Inyiak Labu dari Suku Mandahiliang, Datuak Kabilangan Lobieh dari Suku Patopang, dan Datuak Majo Pangulu dari Suku Caniago.

"Kondisi masyarakat Ranah Tibaru sangat memprihatinkan di bawah kepemimpinan yang sewenang-wenang," jelas Efrianto, sejarawan dari BPSNT Padang dalam bukunya "Sejarah Kerajaan-kerajaan di Dharmasraya" (2010).

Mendengar keluhan tersebut, Sultan Abdul Jalil mengutus kemenakannya, Sultan Kimpalan, untuk memimpin wilayah ini. Bersama Sultan Kimpalan, turut dibawa seorang gadis berusia 13 tahun bernama Puti Sari Bungo yang kelak menjadi raja pertama di Rumah Gadang Tiang Panjang.

Kehadiran Puti Sari Bungo mengawali babak baru dalam sejarah kepemimpinan di Kerajaan Sungai Dareh. Ia menjadi raja perempuan pertama yang memimpin dari Rumah Gadang Tiang Panjang, mengukuhkan sistem matrilineal yang menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau. Kepemimpinannya kemudian dilanjutkan oleh enam raja perempuan berikutnya: Puti Reno Ali, Puti Intan, Puti Rahma, Puti Sariah, Puti Miftahul Rahma, hingga Puti Laily Rahmani.

Rumah Gadang Tiang Panjang mendapat namanya dari keunikan konstruksi bangunannya. Tiang penyangga horizontal yang terpasang di dinding rumah terbuat dari sebatang kayu utuh yang sangat panjang tanpa sambungan. Keistimewaan ini menjadi penanda arsitektur yang membedakannya dengan rumah gadang lain di Minangkabau.

Bangunan bergonjong empat ini tidak hanya menjadi pusat pemerintahan, tetapi juga menyimpan nilai-nilai filosofis mendalam. Empat gonjong melambangkan empat unsur kehidupan: tanah, air, angin, dan api. Sementara itu, dua tangga yang dipisahkan ruang tengah mencerminkan pemisahan akses antara laki-laki dan perempuan, sesuai dengan ajaran adat dan agama.

Hingga kini, Rumah Gadang Tiang Panjang tetap berdiri kokoh di Nagari Sungai Dareh sebagai bukti kejayaan masa lalu dan kearifan sistem kepemimpinan perempuan di Minangkabau. Meski telah mengalami beberapa kali renovasi, nilai sejarah dan cultural yang terkandung di dalamnya tetap terjaga, menanti untuk diwariskan kepada generasi mendatang.

Keunikan Arsitektural: Jejak Keagungan Masa Lalu

Di antara ratusan rumah gadang yang tersebar di Ranah Minang, Rumah Gadang Tiang Panjang Kerajaan Sungai Dareh menyimpan keistimewaan yang tidak ditemukan di tempat lain. Tiang penyangga horizontal yang menjadi ciri khasnya bukan sekadar elemen konstruksi, melainkan manifestasi kejeniusan arsitektur tradisional Minangkabau.

"Tiang penyangga tersebut terbuat dari kayu berkualitas tinggi yang dipasang tanpa sambungan sama sekali. Jika dilihat sekilas, tiang tersebut seolah hanya ditempel di dinding rumah gadang," ungkap Hasmurdi Hasan dalam bukunya "Ragam Rumah Adat Minangkabau" (2004). Keunikan ini menjadi bukti kemahiran para tukang tradisional dalam mengolah material alam.

Selain tiang horizontalnya yang khas, rumah gadang ini memiliki 35 tiang atau tonggak vertikal dengan pembagian yang sarat makna. Sepuluh di antaranya dialokasikan untuk Datuak Nan Sapuluah, mewakili sepuluh suku yang ada di wilayah tersebut. Pada setiap upacara adat, tiang-tiang ini dihiasi dengan kain berwarna berbeda sesuai identitas masing-masing suku.

Di tengah bangunan berdiri Tonggak Tuo, tiang utama yang ukurannya lebih besar dari tiang lainnya. Tonggak ini melambangkan filosofi "pai dahulu pulang kudian" - sebuah prinsip kepemimpinan yang mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus menjadi yang pertama datang dan terakhir pulang dalam setiap kegiatan kemasyarakatan.

Ruang dalam Rumah Gadang Tiang Panjang dibagi menjadi lima tingkatan yang mencerminkan stratifikasi sosial masyarakat. Tingkat pertama atau Lanjar Topi diperuntukkan bagi cadiak pandai dan pemuda. Lanjar Tangah menjadi tempat para datuak dan penghulu. Tingkat ketiga khusus untuk bundo kanduang, sementara Anjuang yang merupakan lantai tertinggi diperuntukkan bagi raja dan tamu kehormatan.

Keunikan lain terletak pada desain tangga kembar yang dipisahkan oleh surambi. Pemisahan akses ini bukan tanpa makna - ini merupakan implementasi nilai-nilai Islam dalam arsitektur tradisional, memastikan pemisahan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Konstruksi ini jarang ditemukan pada rumah gadang lainnya di Minangkabau.

Ornamentasi rumah gadang ini juga menyimpan filosofi mendalam. Ukiran Pisang Sasikek yang menghiasi dinding melambangkan keramahtamahan masyarakat Minangkabau. Sementara motif Itiak Pulang Patang mengajarkan tentang keteraturan dan kepatuhan pada adat. Ukiran Kaluak Paku Kacang Balimbiang mengingatkan akan tugas mamak dalam membimbing kemenakan.

Penempatan ornamen-ornamen tersebut menggunakan tiga warna dasar yang masing-masing memiliki makna simbolis. Warna hitam melambangkan ketahanan ("Indak Lapuak Dek Hujan, Indak Lakang Dek Panek"), kuning mewakili keagungan, dan merah mencerminkan keberanian serta tanggung jawab.

Sayangnya, beberapa elemen original bangunan telah mengalami perubahan seiring waktu. Atap ijuk yang dahulu menutupi bangunan kini telah diganti dengan seng, sementara dinding anyaman bambu telah digantikan material kayu. Meski demikian, perubahan ini tidak mengurangi nilai historis dan filosofis yang terkandung dalam setiap detail arsitekturnya.

Nilai Budaya: Warisan Tak Benda yang Memperkaya Peradaban

Di balik kemegahan fisiknya, Rumah Gadang Tiang Panjang Kerajaan Sungai Dareh menyimpan kekayaan nilai budaya yang mencerminkan peradaban tinggi masyarakat Minangkabau. Bangunan ini tidak sekadar tempat tinggal, melainkan pusat kegiatan adat yang menjaga kesinambungan nilai-nilai luhur dari generasi ke generasi.

Sebagai lambang perkauman, Rumah Gadang Tiang Panjang menegaskan bahwa kepemilikan dalam adat Minangkabau bersifat komunal, bukan individual. "Rumah gadang di Minangkabau tidak dimiliki oleh perorangan tetapi dimiliki oleh persukuan atau perkauman," jelas Riza Mutia, peneliti dari Museum Adityawarman, dalam kajiannya tentang rumah gadang tahun 2005.

Sistem matrilineal yang unik tercermin dalam pengelolaan rumah gadang ini. Selama lebih dari tiga abad, tujuh raja perempuan secara berturut-turut memimpin dari bangunan bersejarah ini. Fakta ini menjadikan Kerajaan Sungai Dareh sebagai contoh implementasi sistem matrilineal terlama dalam sejarah Minangkabau.

Fungsi rumah gadang sebagai tempat "baiyo, batido" (bermusyawarah) masih terpelihara hingga pertengahan abad ke-20. Setiap keputusan penting yang menyangkut anak nagari dibahas di sini, melibatkan unsur Tali Tigo Sapilin - ninik mamak, cerdik pandai, dan alim ulama. Prinsip musyawarah mufakat ini menjamin keadilan dan kebijaksanaan dalam setiap keputusan.

Nilai religius terintegrasi kuat dalam kehidupan di rumah gadang ini, sesuai filosofi "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah". Sebelum masuknya bulan Ramadhan, misalnya, diadakan upacara balimau yang diikuti seluruh anak nagari. Dalam acara ini, para pemuka adat menetapkan aturan-aturan yang selaras dengan nilai Islam.

Tradisi "Du'a Ampek Amin" yang dilaksanakan menjelang Idul Fitri menunjukkan harmoni antara adat dan agama. Empat buya (ulama) yang mewakili empat suku secara bergiliran memanjatkan doa, mencerminkan kebersamaan dalam keberagaman. Sayangnya, tradisi ini mulai memudar sejak awal abad ke-21.

Sistem ekonomi tradisional yang berpusat di rumah gadang dahulu ditopang oleh rangkiang (lumbung padi). Dua buah rangkiang yang berdiri di halaman berfungsi menyimpan hasil panen untuk keperluan adat dan cadangan masa paceklik. Sistem ini menjamin ketahanan pangan sekaligus solidaritas sosial masyarakat.

Dalam upacara pernikahan, Rumah Gadang Tiang Panjang menjadi pusat pelaksanaan prosesi adat. Seluruh elemen masyarakat terlibat dengan peran masing-masing, dari mencari kayu bakar hingga memasak, menunjukkan kuatnya nilai gotong royong. Tradisi ini perlahan bergeser seiring perubahan zaman.

Prinsip "Patah Tumbuah Hilang Baganti" (pergantian kepemimpinan) dilaksanakan dengan cermat untuk menghindari kekosongan kekuasaan. Ketika seorang raja wafat, musyawarah penentuan pengganti dilakukan pada hari yang sama, melibatkan keluarga kerajaan dan pemuka adat.

Sistem Kerajaan: Keunikan Kepemimpinan Perempuan di Tanah Minang

Kerajaan Sungai Dareh menorehkan sejarah unik dalam khazanah kepemimpinan Nusantara melalui sistem pemerintahan yang dipimpin raja perempuan. Rumah Gadang Tiang Panjang, sebagai pusat pemerintahan, menjadi saksi bagaimana para raja perempuan ini memimpin dengan bijaksana sejak tahun 1682 hingga era modern.

Puti Sari Bungo, yang naik tahta di usia 13 tahun, menjadi pionir kepemimpinan perempuan di Kerajaan Sungai Dareh. Kedatangannya dari Pagaruyung bersama Sultan Kimpalan membawa perubahan signifikan dalam tata kelola pemerintahan. Di bawah kepemimpinannya, sistem yang sebelumnya represif berubah menjadi lebih humanis dan berkeadilan.

Struktur pemerintahan di Kerajaan Sungai Dareh menganut prinsip "Tali Tigo Sapilin, Tungkua Tigo Sajarangan". Meski raja memegang kekuasaan tertinggi, setiap keputusan penting harus melalui musyawarah dengan tiga unsur utama: ninik mamak sebagai pemimpin adat, cerdik pandai sebagai kaum intelektual, dan alim ulama sebagai pemuka agama.

"Meskipun dipimpin oleh raja perempuan, sistem politik dan pemerintahan tetap berjalan efektif karena adanya pembagian peran yang jelas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif tradisional," ungkap Efrianto, peneliti BPSNT Padang, dalam kajiannya tahun 2017. Hal ini membuktikan bahwa gender tidak menjadi penghalang dalam kepemimpinan efektif.

Proses pergantian raja mengikuti garis keturunan matrilineal. Setelah Puti Sari Bungo, kepemimpinan dilanjutkan oleh Puti Reno Ali, Puti Intan, Puti Rahma, Puti Sariah, Puti Miftahul Rahma, hingga Puti Laily Rahmani. Setiap raja membawa pembaruan sesuai tantangan zamannya, namun tetap berpegang pada nilai-nilai adat dan agama.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, raja perempuan dibantu oleh Datuak Nan Sapuluah, yakni sepuluh datuk yang mewakili suku-suku yang ada di wilayah kekuasaan Kerajaan Sungai Dareh. Peran mereka tercermin dalam sepuluh tiang khusus di Rumah Gadang Tiang Panjang yang menjadi tempat duduk para datuk dalam sidang adat.

Sistem pemerintahan juga mengenal konsep "Bajanjang Naiak, Batanggo Turun" yang mengatur mekanisme penyelesaian masalah secara berjenjang. Persoalan kecil diselesaikan di tingkat suku oleh ninik mamak. Jika tidak terselesaikan, masalah dibawa ke tingkat yang lebih tinggi hingga ke raja sebagai pengambil keputusan final.

Kerajaan Sungai Dareh memiliki wilayah kekuasaan yang meliputi daerah yang kini menjadi Nagari Sungai Dareh dan sekitarnya. Pengelolaan wilayah dilakukan dengan sistem confederacy, di mana setiap nagari memiliki otonomi dalam urusan internal namun terikat dalam satu kesatuan di bawah raja.

Legitimasi kekuasaan raja perempuan diperkuat oleh simbol-simbol kerajaan yang tersimpan di Rumah Gadang Tiang Panjang. Mahkota Ameh Masak, baju kebesaran raja, dan keris pusaka menjadi regalia yang menandakan wibawa seorang raja, sekaligus menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan telah menjadi bagian integral dari adat Minangkabau.

Pelestarian: Antara Harapan dan Tantangan

Memasuki abad ke-21, Rumah Gadang Tiang Panjang Kerajaan Sungai Dareh menghadapi berbagai tantangan dalam upaya pelestariannya. Perubahan sosial dan modernisasi membawa dampak signifikan terhadap kondisi fisik maupun nilai-nilai yang terkandung dalam bangunan bersejarah ini.

Sejak tahun 2004, Rumah Gadang Tiang Panjang tidak lagi dihuni secara permanen. Rina, penghuni terakhir dari keturunan kerajaan, terpaksa meninggalkan bangunan ini karena kondisinya yang mulai memprihatinkan. Meski pemerintah Kabupaten Dharmasraya telah melakukan beberapa kali renovasi, tantangan pelestarian tetap menjadi persoalan serius.

Perubahan material bangunan menjadi salah satu isu utama. Atap ijuk yang merupakan ciri khas arsitektur tradisional telah diganti dengan seng, sementara dinding anyaman bambu kini menggunakan papan kayu. "Perubahan ini memang tidak dapat dihindari mengingat kesulitan mendapatkan material tradisional," jelas Hasanadi dalam bukunya "Mahakarya Rumah Gadang Minangkabau" (2012).

Rangkiang atau lumbung padi yang dahulu menjadi simbol ketahanan ekonomi kerajaan kini tinggal puing. Pembongkaran dua unit rangkiang pada tahun 2000 dengan janji akan dibangun kembali oleh pemerintah kabupaten hingga kini belum terealisasi. Hal ini berdampak pada hilangnya salah satu elemen penting dalam kompleks Rumah Gadang Tiang Panjang.

Tantangan tidak hanya pada aspek fisik, tetapi juga pada pelestarian nilai-nilai budaya. Tradisi seperti balimau menjelang Ramadhan dan "Du'a Ampek Amin" saat Idul Fitri sudah jarang dilaksanakan. Upacara adat pernikahan yang dahulu menjadi ajang pemersatu masyarakat kini lebih sering digelar di gedung modern.

Pengurangan jumlah ruangan dari sembilan menjadi tujuh kamar mencerminkan perubahan fungsi sosial bangunan ini. Meski dimaksudkan untuk efisiensi pemeliharaan, perubahan ini berpengaruh pada hilangnya beberapa fungsi tradisional rumah gadang sebagai institusi sosial masyarakat Minangkabau.

Di tengah tantangan tersebut, muncul harapan dari berbagai inisiatif pelestarian. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat telah memasukkan Rumah Gadang Tiang Panjang dalam daftar cagar budaya yang dilindungi. Program dokumentasi dan digitalisasi sejarah kerajaan juga mulai dilakukan untuk menjaga warisan tak benda.

Komunitas pemerhati budaya dan akademisi aktif melakukan penelitian dan publikasi tentang nilai-nilai sejarah Kerajaan Sungai Dareh. Upaya ini penting untuk memastikan bahwa generasi mendatang tetap dapat mempelajari kearifan lokal dari sistem kepemimpinan perempuan yang unik ini.

Rumah Gadang Tiang Panjang Kerajaan Sungai Dareh bukan sekadar bangunan bersejarah. Ia adalah saksi bisu kejayaan sistem matrilineal Minangkabau dan bukti bahwa kepemimpinan perempuan telah mengakar kuat dalam tradisi Nusantara. Pelestarian warisan budaya ini menjadi tanggung jawab bersama untuk memastikan nilai-nilai luhur masa lalu tetap relevan di masa kini dan masa depan.

Baca Juga

Akulturasi Budaya Sunda di Kota Padang: Kisah Harmoni Dua Budaya yang Mengakar Sejak 1959
Akulturasi Budaya Sunda di Kota Padang: Kisah Harmoni Dua Budaya yang Mengakar Sejak 1959
Tradisi Maelo Pukek: Warisan Budaya Nelayan Kota Padang yang Masih Bertahan
Tradisi Maelo Pukek: Warisan Budaya Nelayan Kota Padang yang Masih Bertahan
Menelusuri Silsilah Raja Minangkabau: Dari Adityawarman Hingga Era Padri
Menelusuri Silsilah Raja Minangkabau: Dari Adityawarman Hingga Era Padri
Sumbarkita.com - Sejarah Kota Padang: Jejak Peradaban di Pemukiman Orang Nias
Sejarah Kota Padang: Jejak Peradaban di Pemukiman Orang Nias
Sumbarkita.com, Padang Pariaman - Istana Seafood Putra Minang menjadi destinasi wisata kuliner baru yang hadir bibir Pantai Tiram, Padang Pariaman.
Istana Seafood Putra Minang Warnai Wisata Kuliner di Bibir Pantai Taram
Sumbarkita.com - 11 Desember menjadi tanggal peringatan Hari Gunung Sedunia atau Hari Gunung Internasional (International Mountain Day).
Hari Gunung Sedunia dan Catatan Kelam Gunung Marapi