Tradisi Maelo Pukek: Warisan Budaya Nelayan Kota Padang yang Masih Bertahan

Tradisi Maelo Pukek: Warisan Budaya Nelayan Kota Padang yang Masih Bertahan

Tradisi Maelo Pukek. [Foto: Instagram/@myfirman]

Di tengah derasnya arus modernisasi alat tangkap ikan, sekelompok nelayan di pesisir Kota Padang masih setia mempertahankan Tradisi Maelo Pukek. Tradisi menangkap ikan secara gotong royong ini telah ada sejak tahun 1940-an dan menjadi saksi bisu perkembangan dunia maritim di Sumatera Barat.

Maelo Pukek, yang dalam bahasa Indonesia berarti "menarik jaring", merupakan metode penangkapan ikan tradisional yang membutuhkan kerja sama 10 hingga 15 orang. Para nelayan bersama-sama menarik jaring yang sebelumnya dibentangkan ke laut menggunakan perahu kecil. Aktivitas ini biasanya dilakukan di bibir pantai dan memakan waktu sekitar dua jam untuk satu kali tangkapan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yuliyus dan Nora Susilawati dari Universitas Negeri Padang, Tradisi Maelo Pukek masih dapat dijumpai di tiga lokasi utama di Kota Padang. "Saat ini terdapat empat pemilik alat tangkap Pukek di Pasia Jambak, enam pemilik di Pantai Puruih, dan enam pemilik lainnya di Pasia Patenggangan," jelas Yuliyus dalam penelitiannya yang berjudul "Tradisi Maelo Pukek di Kota Padang" (2021).

Menariknya, Tradisi Maelo Pukek tidak hanya sekadar aktivitas menangkap ikan, tetapi juga mengandung nilai-nilai sosial yang dalam. Salah satunya adalah praktik "mancacak", di mana masyarakat yang tidak tergabung dalam kelompok nelayan dapat membantu menarik jaring. Sebagai imbalannya, mereka akan mendapatkan bagian dari hasil tangkapan, meski dalam jumlah kecil.

Sebelum memulai aktivitas Maelo Pukek, para nelayan melakukan ritual yang disebut "etong kalam". Ritual ini berupa pembacaan doa-doa di pinggir pantai sebelum penyebaran jaring. Menariknya, ritual ini juga dilakukan ketika hasil tangkapan menurun, sebagai bentuk harapan akan rezeki yang lebih baik.

Indonesia, dengan luas perairan mencapai 6.315.222 kilometer persegi dan garis pantai sepanjang 99.093 kilometer, memang kaya akan tradisi maritim. Di antara banyaknya warisan budaya bahari, Tradisi Maelo Pukek di Kota Padang menjadi salah satu yang masih bertahan hingga kini, meski harus bersaing dengan teknologi penangkapan ikan modern.

Bertahan di Tengah Modernisasi

Perjalanan Tradisi Maelo Pukek di Kota Padang mengalami berbagai tantangan seiring perkembangan zaman. Pada tahun 1942, tradisi ini terbagi menjadi dua bentuk: Maelo Pukek di atas sampan dan Maelo Pukek di pinggir pantai. Meski menggunakan alat tangkap yang sama, perbedaan utama terletak pada lokasi dan jumlah nelayan yang terlibat.

Saat ini, sebagian besar nelayan muda lebih tertarik menggunakan alat tangkap modern seperti payang, yang menjanjikan hasil lebih besar. "Dibandingkan dengan alat tangkap ikan lainnya, penghasilan yang didapatkan lebih menguntungkan dari Tradisi Maelo Pukek," tulis Yuliyus dalam penelitiannya di Culture & Society: Journal of Anthropological Research (2021).

Namun demikian, Tradisi Maelo Pukek tetap memiliki keunggulan tersendiri. Para nelayan yang masih mempertahankan tradisi ini telah melakukan adaptasi dengan menambahkan mesin pada perahu mereka. Inovasi ini mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk membentangkan jaring ke tengah laut, sekaligus meningkatkan efisiensi penangkapan.

Di balik kesederhanaan Tradisi Maelo Pukek, tersimpan filosofi pelestarian lingkungan yang mendalam. Para nelayan tradisional ini secara tidak langsung berperan sebagai pembersih laut. Ketika musim hujan tiba dan sampah dari hulu sungai terbawa ke laut, jaring Pukek turut menyaring limbah yang mengapung, membantu membersihkan perairan pantai.

Aspek sosial dalam Tradisi Maelo Pukek juga menjadi alasan kuat tradisi ini tetap bertahan. Sistem pembagian hasil yang adil dan praktik "sasamba" - berbagi rezeki dengan tetangga yang membutuhkan - mencerminkan nilai-nilai gotong royong yang mengakar kuat dalam masyarakat pesisir Padang.

Para nelayan senior, terutama yang berusia di atas 40 tahun, menjadi tulang punggung pelestarian Tradisi Maelo Pukek. Bagi mereka, tradisi ini bukan sekadar mata pencaharian, tetapi juga cara untuk tetap produktif di usia senja. "Hanya Tradisi Maelo Pukek inilah yang cocok untuk nelayan yang lanjut usia untuk bekerja sebagai nelayan," ungkap salah seorang narasumber dalam penelitian tersebut.

Menariknya, meski penghasilan dari Maelo Pukek tidak sebesar alat tangkap modern, tradisi ini menawarkan stabilitas pendapatan yang lebih terjamin. Berbeda dengan memayang (menggunakan kapal besar) yang hasilnya fluktuatif - bisa sangat besar atau bahkan nihil - Maelo Pukek hampir selalu memberikan hasil, meski dalam jumlah yang lebih kecil.

Nilai Sosial dan Budaya yang Mengakar

Tradisi Maelo Pukek bukan sekadar metode menangkap ikan, tetapi juga mencerminkan kearifan lokal masyarakat pesisir Kota Padang. Praktik ini menggambarkan bagaimana sebuah komunitas nelayan tradisional membangun sistem sosial yang saling menguntungkan dan berkelanjutan.

"Budaya dalam hubungan sosial berkembang seiring dengan pesatnya perkembangan manusia," tulis Mardotillah dalam Jurnal Tapis: Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam (2016). Pernyataan ini tergambar jelas dalam praktik mancacak yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Tradisi Maelo Pukek di Kota Padang.

Mancacak merupakan bentuk partisipasi spontan masyarakat dalam kegiatan Maelo Pukek. Ketika nelayan mulai menarik jaring ke pantai, warga sekitar dapat bergabung membantu meski hanya sebentar. Sistem ini menciptakan mekanisme berbagi rezeki yang unik, di mana para pencacak akan mendapatkan bagian dari hasil tangkapan, baik yang tidak diambil nelayan maupun pemberian sukarela.

Dalam aspek budaya, ritual etong kalam menjadi bukti bahwa Tradisi Maelo Pukek tidak sekadar aktivitas ekonomi. Ritual yang dilakukan sebelum penebaran jaring ini menggambarkan hubungan spiritual antara nelayan dengan laut. Para nelayan percaya bahwa keberlanjutan rezeki mereka tidak lepas dari keberkahan dan harmonisasi dengan alam.

Sistem kerja sama dalam Tradisi Maelo Pukek juga mengajarkan nilai-nilai penting tentang kebersamaan. Setiap nelayan yang sampai di posisi belakang akan berpindah ke depan, menciptakan rotasi yang adil dan merata. Tali pukek yang diikatkan ke pinggang masing-masing nelayan menjadi simbol ikatan persaudaraan yang harus seimbang dan harmonis.

Professor Talcott Parsons, dalam teori struktural fungsionalnya, menyebutkan empat elemen penting dalam sistem sosial: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola. Tradisi Maelo Pukek memenuhi keempat elemen ini, membuktikan bahwa tradisi ini bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga sistem sosial yang fungsional dan berkelanjutan.

Di tengah era digital yang serba cepat, praktik berbagi dalam Tradisi Maelo Pukek menjadi pengingat akan pentingnya mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan. Ketika hasil tangkapan melimpah, nelayan tidak segan membagikan sebagian kepada warga sekitar yang membutuhkan, menciptakan jaring pengaman sosial yang informal namun efektif.

Faktor Ekonomi dan Keberlanjutan

Meski tidak menjanjikan penghasilan sebesar alat tangkap modern, Tradisi Maelo Pukek di Kota Padang memiliki keunggulan dari sisi stabilitas ekonomi. Para nelayan tradisional ini telah mengembangkan sistem mata pencaharian yang tangguh dan berkelanjutan melalui berbagai adaptasi.

Perubahan signifikan terjadi ketika nelayan mulai menggunakan mesin pada perahu mereka. "Pada saat ini nelayan berupaya beradaptasi dengan menambahkan mesin di perahu sehingga ketika melakukan Tradisi Maelo Pukek tidak memakan waktu yang lama ketika membentangkan jaring ke tengah laut," jelas Yuliyus dalam penelitiannya. Inovasi ini meningkatkan efisiensi tanpa menghilangkan esensi tradisional dari Maelo Pukek.

Dibandingkan dengan memayang yang membutuhkan modal besar untuk pembelian kapal dan bahan bakar, Tradisi Maelo Pukek lebih ramah di kantong nelayan kecil. Menurut definisi dalam penelitian Merliya (2019), nelayan kecil adalah mereka yang menggunakan kapal berukuran maksimal 5 GT (gross ton) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sistem pembagian hasil dalam Tradisi Maelo Pukek juga mencerminkan keadilan ekonomi. Setiap anggota kelompok mendapatkan bagian sesuai perannya, mulai dari pemilik alat hingga pekerja. Bahkan mereka yang hanya membantu sebentar melalui praktik mancacak tetap mendapatkan bagian, menciptakan distribusi ekonomi yang lebih merata di masyarakat pesisir.

Para nelayan senior menemukan bahwa Tradisi Maelo Pukek menjadi pilihan ekonomi yang masuk akal di usia lanjut. "Dibandingkan dengan memayang yang hasilnya bisa dua kali lipat jika beruntung dan jika tidak beruntung tidak mendapatkan ikan sama sekali, Tradisi Maelo Pukek walaupun sedikit tetapi terpenuhi kebutuhan sehari-harinya," ungkap seorang narasumber dalam penelitian.

Di tengah ketidakpastian cuaca dan fluktuasi harga ikan, Tradisi Maelo Pukek menawarkan jaminan penghasilan yang lebih stabil. Praktik ini memungkinkan nelayan untuk menangkap ikan sepanjang tahun, tidak seperti alat tangkap modern yang sangat bergantung pada musim dan kondisi cuaca.

Aspek ekonomi Tradisi Maelo Pukek juga terlihat dari minimnya limbah dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Berbeda dengan alat tangkap modern yang terkadang merusak ekosistem laut, metode tradisional ini justru membantu membersihkan laut dari sampah, menciptakan keberlanjutan ekonomi jangka panjang.

Masa Depan Tradisi Maelo Pukek

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi penangkapan ikan, Tradisi Maelo Pukek di Kota Padang menghadapi tantangan sekaligus peluang. Saat ini, tradisi ini masih bertahan di tiga lokasi utama: Pantai Puruih, Pasia Patenggangan, dan Pasia Jambak. Meski jumlah pelakunya tidak sebanyak dulu, semangat untuk melestarikan warisan budaya ini masih menyala.

Berdasarkan teori struktural fungsional yang dikemukakan Talcott Parsons, keberlangsungan Tradisi Maelo Pukek bergantung pada empat faktor kunci. "Sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya," jelas Ritzer dalam bukunya Teori Sosiologi Modern (2014).

Para nelayan tradisional telah membuktikan kemampuan mereka beradaptasi tanpa kehilangan esensi budaya. Penggunaan mesin pada perahu, misalnya, menunjukkan bahwa modernisasi dan tradisi dapat berjalan beriringan. Inovasi semacam ini menjadi kunci bertahannya Tradisi Maelo Pukek di era modern.

Peran generasi muda menjadi crucial dalam keberlanjutan tradisi ini. Meski banyak yang lebih tertarik dengan alat tangkap modern, beberapa anak muda mulai menyadari nilai penting Tradisi Maelo Pukek, baik dari sisi budaya maupun lingkungan. "Tradisi Maelo Pukek adalah suatu Tradisi yang harus di jaga sebab Tradisi Maelo Pukek adalah peninggalan dari nenek moyang sebelum mengenal memayang," tulis Yuliyus dalam kesimpulan penelitiannya.

Dari sisi pelestarian lingkungan, Tradisi Maelo Pukek menawarkan model penangkapan ikan yang berkelanjutan. Di era ketika kerusakan ekosistem laut menjadi perhatian global, metode tradisional yang ramah lingkungan ini bisa menjadi contoh bagaimana manusia dan alam dapat hidup harmonis.

Sistem sosial yang terbangun dalam Tradisi Maelo Pukek juga relevan dengan semangat gotong royong yang kini mulai terkikis di masyarakat modern. Praktik mancacak dan pembagian hasil yang adil mencerminkan nilai-nilai kebersamaan yang justru sangat dibutuhkan di era individualistis.

Melihat ke depan, Tradisi Maelo Pukek memiliki potensi tidak hanya sebagai metode penangkapan ikan, tetapi juga sebagai warisan budaya yang dapat menjadi daya tarik wisata. Beberapa daerah telah mulai mengembangkan wisata berbasis kearifan lokal, dan Tradisi Maelo Pukek bisa menjadi salah satu atraksi yang menarik.

Yang terpenting, Tradisi Maelo Pukek telah membuktikan diri sebagai sistem sosial-ekonomi yang tangguh dan adaptif. Di tengah berbagai tantangan modernisasi, tradisi ini tetap bertahan karena nilai-nilai fundamental yang dikandungnya: kebersamaan, keberlanjutan, dan harmoni dengan alam.

Baca Juga

Rute Car Free Day di Padang Diperpanjang hingga 2,5 Kilometer Mulai 19 Januari
Rute Car Free Day di Padang Diperpanjang hingga 2,5 Kilometer Mulai 19 Januari
Akulturasi Budaya Sunda di Kota Padang: Kisah Harmoni Dua Budaya yang Mengakar Sejak 1959
Akulturasi Budaya Sunda di Kota Padang: Kisah Harmoni Dua Budaya yang Mengakar Sejak 1959
Rumah Gadang Tiang Panjang: Warisan Megah Kerajaan Sungai Dareh di Darmasraya
Rumah Gadang Tiang Panjang: Warisan Megah Kerajaan Sungai Dareh di Darmasraya
Menelusuri Silsilah Raja Minangkabau: Dari Adityawarman Hingga Era Padri
Menelusuri Silsilah Raja Minangkabau: Dari Adityawarman Hingga Era Padri
Kebakaran Hebat di Tanah Sirah Padang: Warung Makan Ludes Terbakar
Kebakaran Hebat di Tanah Sirah Padang: Warung Makan Ludes Terbakar
Satpol PP Padang mengamankan 21 muda-mudi dalam razia hotel di Kecamatan Padang Utara. Tindakan ini bagian dari upaya menjaga ketertiban umum dan mencegah penyalahgunaan fasilitas penginapan
21 Muda-Mudi Diciduk Pol PP saat Razia Hotel di Padang