Permukiman Tionghoa di Kota Padang: Dari Kampung Pondok Hingga Penjuru Kota

Permukiman Tionghoa di Kota Padang: Dari Kampung Pondok Hingga Penjuru Kota

Kawasan Pondok Padang sekitar tahun 1930. [Foto: KITLV]

Sumbarkita.com - Di sepanjang Sungai Batang Arau yang membelah Kota Padang, Sumatera Barat, sejarah panjang keberadaan komunitas Tionghoa telah terukir selama berabad-abad. Permukiman Tionghoa Padang memiliki kisah unik yang mencerminkan dinamika hubungan antara pendatang dengan penduduk lokal serta kebijakan pemerintah yang berubah dari masa ke masa. Bermula dari peran sebagai pedagang perantara di era kolonial hingga menjadi bagian integral dari perkembangan kota saat ini, komunitas Tionghoa telah mengalami transformasi signifikan dalam pola permukimannya.

Perjalanan sejarah permukiman Tionghoa di Padang dimulai ketika para pedagang Tionghoa pertama kali menginjakkan kaki di kawasan strategis sekitar muara Sungai Batang Arau. Mereka hidup berkelompok di area yang kemudian dikenal sebagai Kampung Pondok atau Kampung Cina. Lokasi ini menjadi saksi bisu bagaimana komunitas Tionghoa beradaptasi dengan lingkungan baru sambil mempertahankan identitas budaya mereka. Berbeda dengan anggapan umum, penelitian terbaru mengungkapkan bahwa masyarakat Tionghoa Padang tidak sepenuhnya terisolasi pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Erniwati dan tim dari Universitas Negeri Padang dalam "The Changes and Spread of Settlements in Chinese Padang, Indonesia" tahun 2023, bukti-bukti sejarah menunjukkan keberadaan masyarakat Tionghoa di luar Kampung Cina bahkan sebelum kebijakan permukiman (wijken stelsel) diberlakukan secara ketat. Hal ini merupakan temuan penting yang mengubah paradigma lama tentang isolasi etnis Tionghoa pada masa kolonial di Padang.

"Pemukiman Tionghoa di Padang tidak hanya terpusat di satu lokasi saja, tetapi telah tersebar di beberapa kawasan kota sejak masa kolonial," papar Erniwati dalam penelitiannya. Kebijakan wijken stelsel yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda pada 1854 memang bertujuan mengontrol pergerakan imigran etnis, termasuk Tionghoa, namun dalam praktiknya, beberapa keluarga Tionghoa telah menetap di luar kawasan yang ditentukan.

Perluasan Kota Padang pada tahun 1980 menjadi momen penting yang mempengaruhi persebaran permukiman Tionghoa secara lebih luas. Dari semula hanya tiga kecamatan, Padang berkembang menjadi 11 kecamatan yang mencakup wilayah yang jauh lebih luas. Ekspansi wilayah ini membuka peluang baru bagi komunitas Tionghoa untuk mengembangkan permukiman di kawasan yang sebelumnya tidak terjangkau.

Kampung Pondok: Pusat Pemukiman dan Identitas Tionghoa Padang

Evolusi Permukiman Tionghoa Padang: Dari Kampung Pondok Hingga Penjuru Kota
Kawasan Pondok Padang sekitar tahun 1910. [Foto: KITLV]

Dalam lanskap perkotaan Padang, Kampung Pondok tetap menjadi jantung permukiman Tionghoa hingga saat ini. Berada di jalan-jalan sempit nan bersejarah di kawasan kota tua, area ini tidak hanya menjadi tempat bermukim tetapi juga pusat aktivitas ekonomi dan budaya masyarakat Tionghoa Padang. Bangunan-bangunan tua bergaya khas dengan pengaruh arsitektur Tionghoa, Eropa, dan lokal masih berdiri kokoh, menjadi saksi sejarah panjang keberadaan komunitas ini.

Sebagai pusat permukiman Tionghoa tertua di Padang, Kampung Pondok memiliki nilai historis yang tidak tergantikan. Berjalan menyusuri gang-gang sempit di Kampung Pondok seperti melakukan perjalanan waktu ke masa lalu, di mana aroma rempah-rempah dan deru aktivitas perdagangan pernah menjadi pemandangan sehari-hari. Bangunan-bangunan tua dengan arsitektur khas masih mempertahankan keasliannya, meskipun beberapa telah mengalami modifikasi akibat perkembangan zaman.

Peran Kampung Pondok sebagai pusat permukiman Tionghoa telah berlangsung sejak awal kedatangan komunitas ini ke Padang. Para pedagang Tionghoa awalnya menetap di sekitar muara Sungai Batang Arau dan area yang dianggap sebagai pusat ekonomi. Mereka berfungsi sebagai perantara antara pedagang lokal dan Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda (VOC). Peran ini berlangsung lama hingga VOC bangkrut pada akhir abad ke-18.

Perubahan struktur pemerintahan setelah VOC diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda berdampak pada reorganisasi permukiman di Padang. Pada tahun 1850, sistem permukiman (wijken stelsel) mulai diberlakukan di Padang berdasarkan etnisitas. Hal ini mengakibatkan pembagian kota menjadi delapan Kampung, dengan komunitas Tionghoa ditempatkan di Kampung V (Wijk VI) yang merupakan area suku Melayu, mencakup Pondok, Kampung Cina, Kampong Sabalah, Berok, dan Belakang Tangsi.

Menurut informasi dari arsip kolonial, populasi etnis Tionghoa di Padang terus meningkat dari waktu ke waktu. Tercatat 1.140 orang pada tahun 1852, meningkat menjadi 2.973 pada tahun 1865, lalu mencapai 7.973 pada tahun 1905, dan bertambah lagi menjadi 8.516 pada tahun 1930-an. Mayoritas (80%) Tionghoa Padang berasal dari Hokkien di Provinsi Fukien, 15% merupakan keturunan Kwongfu dari Kwanton, 3% adalah Hakka, dan 2% sisanya berasal dari berbagai daerah lain di Tiongkok.

Meskipun telah mengalami berbagai perubahan akibat perkembangan kota dan bencana alam, Kampung Pondok tetap menjadi simbol identitas dan kesinambungan budaya Tionghoa di Padang. Kawasan ini kini memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata sejarah, budaya, belanja, dan kuliner karena berada di kota tua. Pengembangan kawasan kota tua sebagai atraksi wisata mencakup area Kampung Cina, sehingga memungkinkan untuk memamerkan budaya dan arsitektur Tionghoa kepada publik yang lebih luas.

Dinamika Perubahan Permukiman Pasca Kemerdekaan

Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 menghadirkan babak baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk etnis Tionghoa di Padang. Peraturan permukiman berdasarkan etnis yang diterapkan pemerintah kolonial mulai ditinggalkan, membuka peluang bagi komunitas Tionghoa untuk memilih tempat tinggal secara lebih bebas. Namun, masa awal kemerdekaan juga diwarnai dengan ketidakpastian politik yang mempengaruhi pola permukiman mereka.

Kedatangan Sekutu bersama Netherlands Indies Civil Administration (NICA) berdampak signifikan terhadap status dan lokasi komunitas Tionghoa. Permukiman etnis Tionghoa yang berada di pusat kota, tempat markas Sekutu dan NICA didirikan, menghadapi tantangan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Kampanye masif bahwa wilayah republik tidak aman untuk ditinggali kemudian mendorong eksodus etnis Tionghoa ke Padang.

"Masyarakat Tionghoa yang tinggal di daerah pesisir seperti Lubuk Alung, Padang Panjang, Solok, Pariaman, Bukittinggi, Painan, dan Payakumbuh terpaksa mengungsi ke Padang demi keamanan," ungkap Idroes dalam bukunya "Peranan BPPI di Padang Kota Perjuangan" tahun 1997. Mereka yang mengungsi ke Padang tinggal di rumah kerabat atau kamp yang disediakan Sekutu, seperti Bioskop New Rek.

Peta yang dilampirkan dalam penelitian Erniwati menggambarkan konsentrasi permukiman penduduk di kota, terutama di tiga kecamatan yaitu Padang Barat, Padang Timur, dan Padang Utara. Wilayah Padang Utara meluas hingga Ulak Karang di utara, ke timur hingga Siteba dan jembatan Andaleh, serta ke selatan hingga Aia Dingin dan bukit Gunung Padang. Meskipun total luas Padang sekitar 33 km², hanya sekitar 26 km² yang efektif digunakan karena keberadaan rawa-rawa berisi tanaman Nipah, terutama dari Ulak Karang hingga Aia Dingin.

Permukiman penduduk pada masa itu sebagian besar terkonsentrasi di kawasan Belantung (sekarang Jalan Sudirman), Padang Baru, Jati, Sawahan, Tarandam, Ganting, Muara, dan Kampong Cina. Komunitas Tionghoa juga bermukim di area-area terkonsentrasi ini. Namun, dengan didirikannya perkebunan karet di kawasan Purus, etnis Tionghoa secara bertahap mulai bermigrasi ke sana, memperluas kehadiran mereka di luar permukiman awal.

Perkembangan pesat Kota Padang menimbulkan kebutuhan mendesak akan pilihan perumahan yang lebih terjangkau dan mudah diakses. Oleh karena itu, upaya dilakukan untuk memperluas batas kota. Awalnya, negosiasi dilakukan dengan bupati Kabupaten Pariaman untuk mengembangkan kawasan Siteba, yang saat itu masih dalam yurisdiksi administratif Padang Pariaman, menjadi kawasan perumahan. Selanjutnya, kawasan Tabbing dan kompleks perumahan seperti Wisma Indah III, Wisma Indah V, dan Wisma Indah III dibangun pada akhir 1970-an.

Faktor Kunci Persebaran Permukiman Tionghoa di Padang

Evolusi Permukiman Tionghoa Padang: Dari Kampung Pondok Hingga Penjuru Kota
Kawasan Pondok Padang sekitar tahun 1920. [Foto: KITLV]

Persebaran permukiman Tionghoa di Padang tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Faktor-faktor ini secara signifikan membentuk pola permukiman dari masa ke masa, menciptakan dinamika unik yang mencerminkan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang berlaku.

Kebijakan pemerintah menjadi faktor pertama yang mempengaruhi persebaran permukiman Tionghoa di Padang. Pada masa kolonial, kebijakan wijken stelsel membatasi pergerakan etnis Tionghoa dalam memilih tempat tinggal. Namun pasca kemerdekaan, kebijakan yang lebih terbuka memungkinkan komunitas Tionghoa untuk menetap di berbagai wilayah kota. Kebijakan perluasan Kota Padang pada tahun 1980 semakin mempercepat persebaran ini, membuka akses ke wilayah-wilayah baru yang sebelumnya tidak terjangkau.

"Pemerintah kota Padang memutuskan untuk menyediakan perumahan bagi penduduk setelah pelantikan Walikota Hasan Basri Durin pada tahun 1973," jelas Chaniago dan Erdie dalam bukunya "Hasan Basri Durin: Sebuah Otobiografi" tahun 2007. Fokus pembangunan mencakup seluruh infrastruktur, termasuk pembangunan kompleks fasilitas olahraga di kawasan Rimbo Kaluang dan Padang Baru, serta jalan raya Khatib Sulaiman dua jalur untuk membuka kawasan Belanti hingga Ulak Karang.

Faktor ekonomi juga berperan penting dalam menentukan lokasi permukiman Tionghoa. Sebagai komunitas yang banyak berkecimpung dalam dunia perdagangan, kedekatan dengan pusat ekonomi menjadi pertimbangan utama dalam memilih tempat tinggal. Pada masa awal, permukiman terkonsentrasi di sekitar Pasar Raya Padang dan kawasan Pondok karena perannya sebagai pusat ekonomi. Seiring perkembangan kota dan munculnya pusat-pusat ekonomi baru, permukiman Tionghoa pun mulai menyebar mengikuti arus ini.

Keamanan dan kenyamanan merupakan faktor lain yang tidak kalah penting. Masa pergolakan setelah kemerdekaan mendorong banyak keluarga Tionghoa dari kota-kota sekitar untuk mencari perlindungan di Padang. Mereka cenderung memilih kawasan yang dipandang aman, seperti di dekat markas militer atau di lingkungan yang sudah memiliki konsentrasi etnis Tionghoa. Pola ini terus berlanjut hingga era yang lebih stabil, di mana faktor kenyamanan lebih diutamakan daripada keamanan semata.

Jaringan keluarga dan komunitas juga memainkan peran crucial dalam pola permukiman. Etnis Tionghoa cenderung tinggal berdekatan dengan kerabat atau sesama anggota komunitas, menciptakan kluster-kluster kecil di berbagai bagian kota. Pola ini membantu mempertahankan ikatan sosial dan budaya serta menyediakan dukungan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Kompleks perumahan Jondul Rawang di Padang Selatan, misalnya, menjadi tujuan populer bagi komunitas Tionghoa kelas menengah bawah yang kesulitan mendapatkan lahan di area pusat kota.

Bencana alam, terutama gempa bumi yang melanda Padang pada 30 September 2009, juga menjadi faktor penentu dalam perubahan pola permukiman. Gempa tersebut tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik tetapi juga mengubah persepsi masyarakat tentang kawasan yang aman untuk ditinggali. Banyak keluarga Tionghoa yang kemudian memilih untuk pindah ke wilayah timur dan selatan kota yang dipandang lebih aman dari ancaman gempa dan tsunami.

Gempa 2009: Titik Balik Permukiman Tionghoa Padang

Gempa bumi dahsyat yang mengguncang Padang pada 30 September 2009 dengan kekuatan 7,9 SR menjadi titik balik penting dalam pola permukiman Tionghoa di kota ini. Bencana yang menewaskan lebih dari seribu orang dan menghancurkan ribuan bangunan itu tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga mengubah cara pandang masyarakat terhadap keamanan dan keselamatan tempat tinggal mereka, termasuk komunitas Tionghoa.

Kawasan pusat kota yang menjadi konsentrasi utama permukiman Tionghoa sejak masa kolonial mengalami kerusakan berat akibat gempa. Bangunan-bangunan tua di Kampung Pondok dan sekitarnya yang memiliki nilai historis tinggi banyak yang runtuh atau mengalami kerusakan parah. Tragedi ini menimbulkan ketakutan dan trauma mendalam bagi penduduk, memaksa mereka untuk mengevaluasi ulang pilihan lokasi tempat tinggal.

"Gempa 2009 berdampak mendalam pada penduduk kota, terutama dalam keputusan mereka mengenai area tinggal yang aman," tulis Erniwati dalam penelitiannya. Sebagai respons, inisiatif pembangunan kota mulai memprioritaskan langkah-langkah yang ditujukan untuk mengurangi risiko dan memastikan pembangunan kantor dan perumahan yang aman.

Sejalan dengan dokumen Pengembangan Strategis Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan (SPPIP) untuk Padang tahun 2004-2010, tujuan pembangunan perkotaan adalah untuk meningkatkan organisasi, relokasi, dan rehabilitasi kota dan permukimannya. Meskipun rencana ini mencakup bagian timur kota, semula prioritasnya tidak tinggi. Namun, gempa menjadi titik balik yang secara signifikan mempengaruhi kebijakan pemerintah kota, ditandai dengan kesadaran baru akan perlunya memasukkan strategi mitigasi ke dalam desain kebijakan pembangunan dan permukiman.

Visi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2010-2030 adalah "Terwujudnya Padang sebagai Kota Metropolitan Berbasis Mitigasi Bencana yang Didukung oleh Pengembangan Sektor Perdagangan, Jasa, Industri dan Pariwisata". Kebijakan ini dikembangkan lebih lanjut untuk menerapkan langkah-langkah melindungi area yang dianggap rentan terhadap gempa atau tsunami, seperti area Pusat Kota yang mencakup kecamatan Padang Utara, Barat, Selatan, dan Timur yang berfungsi sebagai area perdagangan dan jasa.

Pemerintah mendorong pertumbuhan permukiman di bagian timur dan selatan kota seperti kecamatan Koto Tangah, Kuranji, Pauh, Lubuk Kilangan, dan Bungus Teluk Kabung. Peningkatan populasi di wilayah ini disebabkan oleh permintaan lahan untuk mengakomodasi permukiman yang semakin tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan luas area permukiman dari 3.157 hektar pada tahun 1998 menjadi 16.608 hektar pada tahun 2014.

Komunitas Tionghoa, yang semula terkonsentrasi di pusat kota, mulai bergeser ke wilayah timur kota. Keluarga-keluarga Tionghoa mulai membeli tanah dan membangun rumah di kawasan yang dipandang lebih aman dari risiko gempa dan tsunami. Pergeseran ini tidak hanya mencakup permukiman tetapi juga keputusan alokasi lahan. Relokasi ini terutama dilakukan sebagai langkah mitigasi bencana, khususnya risiko gempa dan tsunami.

Persebaran Terkini: Eksistensi di Hampir Seluruh Kecamatan

Data tahun 2021 menunjukkan pola persebaran permukiman Tionghoa yang menarik di Kota Padang. Hampir seluruh kecamatan, kecuali Bungus Teluk Kabung, kini menjadi tempat tinggal komunitas Tionghoa. Ini menunjukkan bahwa sekat-sekat etnis dalam pemukiman telah jauh berkurang, digantikan oleh pertimbangan praktis seperti akses ke fasilitas pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.

Berdasarkan penelitian Erniwati tahun 2023, Padang Barat masih menjadi kecamatan dengan jumlah rumah etnis Tionghoa terbanyak yakni 1.806 unit. Mayoritas terkonsentrasi di Kampung Pondok (786 rumah), Berok Nipah (486), dan Kampung Jao (122). Angka ini menunjukkan bahwa meskipun telah terjadi persebaran, pusat historis komunitas Tionghoa masih memiliki daya tarik kuat sebagai tempat tinggal.

Padang Selatan menempati posisi kedua dengan 1.326 rumah etnis Tionghoa, dengan konsentrasi signifikan di kampung Belakang Pondok, Mata Air, dan Rawang. Jumlah ini mencerminkan preferensi komunitas Tionghoa terhadap kawasan yang berdekatan dengan pusat kota lama namun tetap menawarkan akses mudah ke fasilitas modern.

Lubuk Begalung di bagian timur kota memiliki 141 rumah etnis Tionghoa, tersebar di Koto Baru (42 rumah), Lubuk Begalung (19), Parak Laweh (16), Kampung Jua (16), dan Banuaran (17). Padang Timur menampung 115 rumah yang tersebar di sepuluh kelurahan, dengan jumlah terbanyak di Parak Gadang, Ganting, dan Andalas. Sementara itu, Koto Tangah memiliki 111 rumah dengan distribusi terluas di Parupuk Tabing (92), diikuti Lubuk Buaya (9), dan Dadok Tunggul Hitam (5).

Kecamatan lain memiliki kurang dari 50 rumah etnis Tionghoa, seperti Padang Utara (46) yang tersebar di Ulak Karang, Lolong Belanti, Gunung Pangilun, dan Alai Parak Kopi. Kuranji memiliki 10 rumah yang terkonsentrasi di Korong Gadang, Nanggalo memiliki 16 rumah di kelurahan Lapai dan Banda Gadang, dan Pauh dengan 8 rumah tersebar di Cupak Tangah, Piai Tangah, dan Kapalo Koto. Jumlah terendah terdapat di kecamatan Lubuk Kilangan dengan 5 rumah di Indarung dan 1 di Bandar Buat.

Pola persebaran yang luas ini menunjukkan bahwa masyarakat Tionghoa telah menjadi bagian integral dari pertumbuhan kota Padang. Mereka tidak lagi terisolasi dalam satu kawasan, melainkan telah menyatu dengan masyarakat luas dalam berbagai sektor kehidupan urban. Kehadiran mereka di hampir seluruh kecamatan juga menandakan penerimaan yang semakin baik dari masyarakat lokal serta kebijakan kota yang inklusif.

Seperti diungkapkan dalam penelitian Erniwati, "Permukiman Tionghoa kini telah menyebar hampir ke seluruh wilayah kota dalam bentuk kavling dan berbagai jenis perumahan kluster." Ini menunjukkan bahwa komunitas Tionghoa tidak lagi menghadapi hambatan berarti dalam memilih tempat tinggal dan menjadi bagian dari populasi Kota Padang.

Transformasi Berkelanjutan

Perjalanan historis permukiman Tionghoa di Padang mencerminkan dinamika yang kompleks antara kebijakan pemerintah, faktor sosial-ekonomi, dan bencana alam. Dari masa kolonial hingga era kontemporer, pola permukiman mereka telah mengalami transformasi signifikan, bergerak dari konsentrasi terpusat di Kampung Pondok menuju persebaran yang lebih merata di hampir seluruh wilayah kota.

Kampung Pondok, meskipun tidak lagi menjadi satu-satunya pusat permukiman, tetap mempertahankan posisinya sebagai jantung identitas Tionghoa di Padang. Kawasan bersejarah ini telah menjadi simbol kesinambungan budaya dan tradisi yang bertahan di tengah arus perubahan. Potensinya sebagai destinasi wisata budaya dan sejarah semakin diakui, membuka peluang baru bagi revitalisasi kawasan ini.

Perluasan Kota Padang pada tahun 1980 menjadi momentum penting yang mempercepat persebaran permukiman Tionghoa ke wilayah-wilayah baru. Ekspansi ini tidak hanya memperluas pilihan tempat tinggal tetapi juga membuka peluang partisipasi komunitas Tionghoa dalam pembangunan ekonomi di berbagai penjuru kota. Perkembangan infrastruktur, transportasi, bisnis, dan perdagangan menjadi faktor kunci yang mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan permukiman ini sejalan dengan perencanaan kota di Padang.

Gempa bumi 2009 menjadi titik balik yang mengubah lanskap permukiman secara drastis. Bencana ini tidak hanya menimbulkan kerusakan fisik tetapi juga mengubah persepsi tentang keamanan dan kenyamanan bertempat tinggal. Mayoritas permukiman Tionghoa yang sebelumnya terkonsentrasi di pusat kota secara bertahap bergeser ke bagian timur Padang, mencakup baik area residensial maupun keputusan alokasi lahan. Pergeseran ini terutama dilakukan sebagai langkah mitigasi bencana, khususnya risiko gempa dan tsunami.

Data tahun 2021 menunjukkan bahwa permukiman Tionghoa kini telah tersebar di seluruh kecamatan Padang, kecuali Bungus Teluk Kabung. Pola persebaran yang luas ini menandakan integrasi yang semakin dalam antara komunitas Tionghoa dengan masyarakat luas serta kebijakan kota yang inklusif. Keberadaan mereka di berbagai penjuru kota menjadi bukti bahwa sekat-sekat etnis dalam pemukiman telah jauh berkurang, digantikan oleh pertimbangan praktis dalam memilih tempat tinggal.

Baca juga: Sejarah Kota Padang: Jejak Peradaban di Pemukiman Orang Nias

Transformasi permukiman Tionghoa di Padang adalah proses yang masih berlangsung hingga kini. Seiring dengan perkembangan kota dan perubahan kebijakan, pola ini akan terus berevolusi, menciptakan dinamika baru dalam lanskap urban Padang. Yang tetap tidak berubah adalah kontribusi komunitas Tionghoa terhadap identitas multikultural kota ini, memperkaya mozaik sosial, ekonomi, dan budaya Padang sebagai salah satu kota penting di Sumatera.


Referensi:

  • Erniwati, et al. (2023). "The Changes and Spread of Settlements in Chinese Padang, Indonesia". Indonesian Journal of Geography, Vol 55, No 2 (2023): 264-274.
  • Chaniago, H., & Erdie, E. Y. (2007). "Hasan Basri Durin: Sebuah Otobiografi". Yayasan Citra Budaya Indonesia.
  • Idroes, I. (1997). "Peranan BPPI di Padang Kota Perjuangan". Tanpa tempat terbit.
  • Amran, R. (1988). "Padang Riwayatmu Dulu". CV. Yasaguna.
  • Zaidulfar, E. A. (2002). "Morfologi Kota Padang". Universitas Gadjah Mada.

Baca Juga

Pelantikan Pengurus Wilayah P2N Sumbar yang dipimpin oleh Ketua Umum PP P2N H. Alven Stony di Gubernuran Sumatera Barat.
Pengurus Wilayah P2N Sumbar Resmi Dikukuhkan
Rute Car Free Day di Padang Diperpanjang hingga 2,5 Kilometer Mulai 19 Januari
Rute Car Free Day di Padang Diperpanjang hingga 2,5 Kilometer Mulai 19 Januari
Tradisi Maelo Pukek: Warisan Budaya Nelayan Kota Padang yang Masih Bertahan
Tradisi Maelo Pukek: Warisan Budaya Nelayan Kota Padang yang Masih Bertahan
Rumah Gadang Tiang Panjang: Warisan Megah Kerajaan Sungai Dareh di Darmasraya
Rumah Gadang Tiang Panjang: Warisan Megah Kerajaan Sungai Dareh di Darmasraya
Menelusuri Silsilah Raja Minangkabau: Dari Adityawarman Hingga Era Padri
Menelusuri Silsilah Raja Minangkabau: Dari Adityawarman Hingga Era Padri
Kebakaran Hebat di Tanah Sirah Padang: Warung Makan Ludes Terbakar
Kebakaran Hebat di Tanah Sirah Padang: Warung Makan Ludes Terbakar